Hafshah binti Umar
Ummul Mukminin Penjaga Al-Qur'an
Oleh : Departemen Kemuslimahan
Hafshah binti UmarHafshah adalah putri dari sahabat dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yakni Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu. Ia adalah wanita yang berpendirian teguh, cerdas dan rajin beribadah, baik itu berpuasa sunnah maupun shalat malam. Sebelumnya Hafshah pernah menikah dengan Khunais bin Hudzafah As Sahmi, mujahid saleh yang berhijrah dua kali, ikut dalam Perang Badar, dan Perang Uhud. Namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami sewaktu Perang Uhud. Hafshah pun menjadi janda di usia muda yaitu 18 tahun.
A. Kekhawatiran Sang Ayah
Umar bin Khattab yang tidak tega melihat putrinya menjanda terlalu lama kemudian mendatangi Utsman bin Affan. Umar mengira bahwa karena putri Nabi, Ruqayyah, yang merupakan istri Utsman, telah meninggal, Utsman mungkin akan merespons dengan baik. Namun, Utsman menjawab, “Aku tidak ingin menikah hari ini.” Hal ini karena Utsman masih belum pulih dari kematian istri tercintanya. Umar kemudian menemui sahabatnya yang lain, Abu Bakar. Dia berharap sahabatnya itu bersedia menikahi anaknya, Sayyidah Hafshah. Namun ternyata Abu Bakar hanya diam saja. Hal itu membuat Umar kesal, bingung dan bergegas mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
B. Menikah dengan Rasulullah SAW.
Ternyata Abu Bakar diam karena tahu bahwa Rasulullah saw. pernah menyebut Hafshah (berniat menikahinya). Sebab Nabi Muhammad sadar bahwa Umar bin Khattab berperan besar dalam menegakkan panji-panji Islam pada masa-masa awal. Bagaimana Umar bin Khattab membela Islam, mempertaruhkan jiwa dan raganya demi tegaknya Islam. Nabi juga melihat bahwa Islam semakin bermartabat semenjak Umar bin Khattab menyatakan diri menjadi pengikutnya. Rasulullah saw. ingin mempunyai hubungan keluarga dengan sahabatnya, Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab akhirnya bertemu Rasulullah dan menceritakan kondisinya yang tidak baik karena Abu Bakar dan Utsman bin Affan menolak tawarannya untuk menikahi Hafshah. Sambil tersenyum, Nabi Muhammad berkata kepada Umar : “Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Utsman, sedangkan Utsman akan menikahi wanita yang lebih baik daripada Hafshah.”
Mendapat jawaban tersebut dari Rasulullah wajah Umar menjadi berseri-seri. Hilanglah segala kesedihan dan kegundahan hatinya, maka secepatnya ia segera mengabarkan berita gembira ini kepada semua orang yang dicintainya. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, pernikahan yang indah dan berkah antara Nabi saw. dengan Hafshah binti Umar pun berlangsung di bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriah di Madinah. Begitulah Hafshah menjadi salah satu istri Rasulullah dan Ummahatulmu’minin yang suci.
C. Kehidupan Pernikahan
Hafshah binti Umar pandai membaca, menulis, serta menghafal Al-Qur’an. Pada masa itu, perempuan belum lazim memiliki kemampuan penting tersebut. Hafshah belajar Al-Qur’an serta cara menulis ayat yang baik dan benar langsung dari Rasulullah saw. Ia menjadi sosok yang istimewa karena satu-satunya penghafal Al-Qur’an yang menulis ayat di bawah pengawasan langsung Nabi Muhammad saw. Bahkan ayahnya, Umar bin Al-Khaththab sering kali menemui Hafshah jika terjadi perbedaan tafsir Al-Qur’an.
Namun rumah tangga Hafshah Bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mulus-mulus saja. Hafshah pernah menyebabkan kesusahan dan kepedihan pada diri Rasulullah karena kecemburuannya kepada budak Rasulullah saw. yang bernama Mariyah Al-Qibtiyah dan menyebarkan rahasia antara dirinya dengan Rasulullah saw. kepada Aisyah yaitu tidak akan menikahi Mariyah sampai mendapat persetujuan dari Hafshah.
Karena sebab itu Rasulullah mentalak satu Hafshah. Hingga turunlah surat At-Tahrim ayat pertama “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu demi mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat ini turun bukan hanya semata-mata teguran untuk memadamkan konflik rumah tangga Rasulullah dan Hafshah, yang terpenting ialah agar menjadi pelajaran bagi kaum muslimin di masa mendatang untuk tidak mengharamkan apa yang Allah halalkan (atau sebaliknya) dan tidak menyebarkan rahasia/aib pasangan.
Kemudian Rasulullah memaafkan Hafshah dan rujuk kembali dengan Hafshah atas pesan yang dibawakan Jibril. Dalam hadits dari Anas bin Malik dan Qais bin Zaid, Rasulullah saw bersabda,
قَالَ لِي جِبْرِيْلُ: رَاجِعْ حَفْصَةَ، فَإِنَّهَا صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ، وَ إِنَّهَا زَوْجَتُكَ فِي الجَنَّةِ
“Jibril berkata kepadaku, ‘Kembalilah (rujuklah) kepada Hafshah karena ia adalah wanita yang rajin berpuasa, rajin shalat malam, dan ia akan menjadi istrimu di surga.’” (Diriwayatkan oleh As-Suyuti dalam Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 6061. Hadis ini sahih)
D. Setelah Rasulullah SAW. wafat
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam Perang Riddah di Yamamah (Peperangan melawan kaum murtad dan Musailamah Al Kazab yang mengaku sebagai nabi). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khattab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan asli Al-Qur’an yang tercecer pada pelepah kurma, permukaan batu cadas, serta menuliskan dari hafalan orang-orang secara mutawatir menjadi bentuk lembaran-lembaran.
Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi Abu bakar membuka hatinya bahwa ini adalah bid’ah hasanah, sebab dingatkan sebuah ayat oleh Umar yakni “Innā nahnu nazzalnaż-żikra wa innā lahu lahāfizun”. Kemudian Abu Bakar bergegas menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proses pembukuan Al Qur’an (Jam’ul Qur’an) ini.
E. Peran Hafshah dalam Jam’ul Qur’an
Setelah selesai mushaf tersebut disimpan di tangan Abu Bakar sampai ia wafat. Lalu disimpan oleh Umar hingga beliau juga wafat. Kemudian Hafshah binti Umar-lah yang dipercaya untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang pertama tersebut di rumahnya. Hingga akhirnya di masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, ia dan tim khusus, salah satunya Zaid bin Tsabit, bermaksud untuk menstandarisasi Al-Qur’an terhadap perbedaan dialek (lahjah) dan membuat mushaf yang seutuhnya dengan lembaran-lembaran yang menyatu dan rapi.
Utsman mengirim utusan kepada Hafsah binti Umar untuk meminta dokumen ayat-ayat Al Quran. Saat negosiasi, Hafsah mengizinkan dengan syarat Utsman mengembalikan dokumen asli saat ayat sudah selesai disalin. Utsman pun setuju. Setelah mushaf jadi dan disebar ke berbagai kota agar dicetak lebih banyak, Mushaf inilah yang umum kita temui saat ini dikenal dengan cara penulisan Utsman atau Rasm Utsmani. Utsman menepati janjinya untuk mengembalikan dokumen asli. Kemudian, Hafsah melanjutkan hidup sebagai penghafal dan penjaga Al Quran.
F. Wafatnya Hafshah radhiyallahu 'anha
Marwan Bin Al-Hakam seorang Khalifah Bani Umayyah, pernah meminta Hafsah agar suhufnya dibakar, tetapi ditolak oleh Hafsah. Baru setelah Hafsah binti Umar wafat pada usia 63 tahun pada tahun 41 hijriyah atau 665 M. dan dimakamkan di Baqi’. Suhufnya di ambil oleh Marwan dan kemudian dibakar. Tindakannya terpaksa dilakukan, demi untuk mengamankan keseragaman mushaf Al Qur’an yang telah diusahakan oleh Khalifah Utsman. Dan lagi untuk menghindari keragu-raguan umat Islam di masa yang akan datang terhadap mushaf Al Qur’an, jika masih terdapat dua macam naskah (Suhuf Hafsah dan Mushaf Utsman).
Ulum, A. S. (2022). Pahit Manis Rumah Tangga Rasul. Anak Hebat Indonesia.